Daru (7 tahun)—bukan nama sebenarnya—akhirnya tahu bagaimana cara mengakses situs porno dari teman sebaya di sekolah. Orang tuanya kaget ketika melihat anaknya yang semula sangat jarang menyambangi komputer di rumah, sekarang lebih suka tinggal di rumah mengklikmouse di komputer pribadi orang tuanya menjelajahi dunia maya. Ternyata dia rajin mengakses situs esek-esekWikita (8 tahun)—juga bukan nama sebenarnya—mengajak teman-temannya yang berusia antara 6 hingga 7 tahun untuk bersama-sama menonton film porno di rumah. Entah dari mana dia mendapatkan akses ke koleksi film porno milik orang tuanya. Lagi-lagi orang tuanya keblingsatan ketika memergoki anaknya dan serombongan anak-anak lainnya sedang asyik masyuk menonton film yang sepatutnya untuk konsumsi dewasa itu.
***
Seorang anak Thai, Chayuth (12 tahun)—juga bukan nama sebenarnya—mengajak teman-temannya melongok ke ponsel baru pemberian orang tuanya. Ponsel itu bekas ayahnya yang kini sudah membeli ponsel baru. Ponsel Chayuth layarnya lebar dan dapat digunakan untuk mengakses internet nirkabel. Di sela-sela istirahat sekolahnya, ketimbang bermain-main dengan teman-teman lain di halaman sekolah, mereka lebih memilih pojok tersembunyi di dekat sekolahnya: menonton koleksi gambar syur yang ironisnya adalah milik ayahnya yang lupa menghapus dari database ponselnya. Berawal dari sana, mereka mencari tahu lebih banyak lagi gambar-gambar seronok lewat jaringan web.
***
Murakami (10 tahun)—bukan nama sebenarnya—adalah anak laki-laki Jepun yang sebagaimana anak sebayanya, sudah lama berkenalan dengan internet, terutama untuk bermain online games. Pada suatu waktu dia memperkenalkan sebuah games di internet kepada teman-teman perempuannya. Sebuah games yang penuh dengan darah dan kekerasan. Dia juga mempertontonkan gambar mengerikan korban pembunuhan atau kekerasan lewat jejaring internet.
***
Kejadian di atas adalah kejadian sebenarnya yang dialami oleh anak-anak dari teman-teman yang saya kenal. Itu artinya bahwa kejadian tersebut memang ada di sekitar kita karena teknologi yang terlibat di atas juga memang telah tersedia di sekitar kita.
Sekarang ini kita memang menyaksikan betapa cepatnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT) berkembang. Jika dulu informasi hanya menjadi milik otoritas media tertentu, kini dengan berkembangnya consumer generated media atau media terbangkitkan pemakai memungkinkan pemakai memilih, menanggapi dan memuat informasi dengan leluasa. Semuanya dimungkinkan berkat aplikasi web yang lazim dinamai Web 2.0. Istilah Web 2.0 yang dipopulerkan oleh Tim O’Reilly itu dicirikan oleh pemerbagian informasi (information sharing), interoperabilitas, desain berorientasi pemakai (user-centered design) dan kolaborasi di dalam World Wide Web (WWW). Barangkali perkembangan yang terjadi dalam dunia ICT belakangan ini dapat digambarkan dengan makin besarnya keterlibatan pemakai dalam teks dan konten (content) media (mengenai diskusi panjang tentang hal ini, silakan lihat Lister, Dovey, Giddings, Krant dan Kelly 2009 dalamNew Media: A Critical Introduction).
Dengan begitu leluasanya pemakai mengakses informasi saat ini, konten apa pun menjadi mudah diperoleh dari sumber-sumber yang ada di dalam web. Konten yang semula terbatas atau tersaring oleh tipe media, pemuat informasi, serta usia dan status sosial pemakai kini menjadi lebih longgar seiring dengan makin leluasanya pemakai mengakses, memuatturunkan, mengubah dan memuatnaikkan konten. Ya, karena selain ada banyak pemakai yang beretika, ada banyak pula pemakai yang tidak bertanggung jawab. Dengan mudahnya, mereka memuatnaikkan konten porno atau yang tak layak dikonsumsi publik ke dalam lokasi—misalnya situs blog atau situs jejaring sosial—yang lebih mudah diakses oleh masyarakat internet. Jika dulu untuk mengakses gambar atau video porno di situs Playboy atau Penthouse, misalnya, kita perlu log in, melanggan, dan membayar, kini hanya berbekal kata kunci kita bisa mengaksesnya berkat dukungan mesin pencari andal Google .
Sampai di sini, kita melihat perkembangan teknologi media sebagai salah satu ancaman dalam kehidupan kita. Namun, sebenarnya teknologi media—sebagaimana teknologi yang lain—dikembangkan dengan tujuan baik, yakni sebagai ekstensi atau perpanjangan dari manusia sehingga mereka dapat memperoleh otonomi dan mengembangkan diri mereka sendiri ke arah lebih baik. Jadi, benar jika banyak orang mengatakan teknologi laksana sebuah mata pisau: punya manfaat jika digunakan secara benar, tetapi juga punya ekses buruk apabila digunakan dengan tujuan jahat.
Anak-anak dalam memperlakukan teknologi media (ICT) barangkali berbeda dengan orang dewasa. Menurut salah seorang guru SD di Jepang, orang dewasa menggunakan ICT untuk kebutuhan pekerjaan, sosial, hiburan dan informatif, namun anak-anak pada umumnya menggunakan teknologi media semata-mata untuk kebutuhan mengisi waktu luangnya yang berlebih. Nah, jika penggunaan teknologi media ini tanpa kontrol dari orang tua, barangkali akan menimbulkan dampak yang kurang baik; antara lain dampak normatif seperti yang saya kemukakan pada bagian pembuka dari tulisan ini.
Barangkali benar bahwa pada usia perkembangannya anak-anak butuh sesuatu untuk mengisi waktu luangnya di luar sekolah; sesuatu yang sesuai dengan tahap perkembangan dirinya:playing atau bermain. Untuk mengisi waktu luang ini, ada orang tua yang mengirimkan anak-anaknya ke kursus ini dan itu. Itu sangat baik, tetapi, bukan berarti ini juga tanpa resiko karena berat beban seorang anak juga perlu dipertimbangkan; apalagi materi pelajaran sekolah Indonesia terkenal sebagai salah satu yang terbanyak. Sejauh anak merasa senang dan menganggap kursus adalah bagian dari “taman bermain”-nya, saya kira itu tidak bermasalah. Akan tetapi, apabila anak menganggapnya berbeda, bukan tidak mungkin itu akan berdampak buruk berupa penolakan, depresi atau hal-hal lain yang justru berkontribusi negatif terhadap perkembangan belajarnya.
Dalam perihal mengisi waktu luang inilah teknologi media barangkali bisa bermanfaat. Komputer bisa menjadi ajang bagi anak-anak untuk memperoleh informasi apa pun yang bertujuan untuk memupuk pengetahuannya tentang dunianya. Mereka bisa belajar mulai dari serangga hingga dinosaurus; dari ubi cilembu hingga supernova; dari ketapel hingga bio-energi. Namun, yang terjadi dalam kasus di atas, teknologi dijadikan sebagai alat untuk memudahkan akses kepada konten porno. Barangkali di sini masalahnya bukan terletak pada teknologi media, tetapi lebih pada masyarakat yang sebenarnya punya “permintaan” laten terhadap kandungan informasi pornografi. Hal ini tidak hanya terjadi pada era ICT seperti sekarang ini, bahkan sudah ada sejak saya remaja pada akhir tahun 1980-an. Bukan rahasia umum, saya kira, pada masa remaja saya untuk memperoleh konten informasi porno melalui stensilan atau novel cabul seperti Enny Arrow atau Nick Carter. Bahkan ketika era VHS masuk ke Indonesia, juga bukan hal yang luar biasa apabila ada serombongan anak SMP yang mencoba sembunyi-sembunyi menonton video porno.
Teknologi telah berganti dan berkembang. Pada satu sisi, perilaku masyarakat pun berubah dan berkembang mengikuti teknologi. Misalnya, jika dahulu membicarakan hal yang domestik mungkin tabu bagi masyarakat umum, kini hal itu justru biasa dan menjadi konsumsi publik baik lewat blog maupun situs jejaring sosial. Namun, pada sisi lain, ada juga yang hakikatnya tidak berubah, misalnya, keinginan untuk mengakses konten pornografi yang sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Keinginan laten tersebut bertemu dengan teknologi informasi dan komunikasi masa kini yang consumer-oriented. Kondisi ini menjadi seperti pepatah tumbu enthuk tutupdalam bahasa Jawa, atau seperti api mendapatkan minyak dalam bahasa Melayu: bersua dengan habitatnya. Ada sebagian pemakai yang berkeinginan untuk mengonsumsi informasi-informasi cabul, sementara di luar sana ada sebagian pemakai tak bertanggung jawab yang memuatnaikkan informasi tak senonoh tersebut ke jaringan web. Di titik ini, anak-anak kita, yang sebagian besar masih polos, masuk ke dalam dunia web yang terbuka untuk apa pun dan siapa pun.
Lalu, berbahayakah teknologi informasi dan komunikasi bagi anak-anak? Saya kira kembali kepada analogi mata pisau tadi. Sejauh digunakan untuk hal-hal yang baik—seperti yang menjadi salah satu tujuan pengembangan dan pengenalannya kepada masyarakat—saya kira teknologi justru dapat menjadi agen perubahan. Jadi, barangkali, saya kira di sini peran institusi pendidikan, guru, orang tua dan masyarakat sangat penting.
Teknologi komputer dan internet dapat dimanfaatkan untuk belajar dengan cepat, interaktif dan komprehensif—yang tentu saja kini sudah dimanfaatkan oleh banyak sekolah di Indonesia; bahkan oleh orang tua ketika menyelesaikan tugas sekolah anak. Kontrol orang tua saya kira juga berperan penting dalam mengawasi konten yang diakses oleh anak. Kita memang bisa membatasi pemakaian komputer dan internet untuk tugas sekolah saja. Namun, menggunakan komputer bisa menjadi membosankan apabila hanya digunakan untuk hal yang berhubungan dengan sekolah; sementara masih banyak hal bermanfaat lain yang bisa dilakukan dengan komputer dan internet. Misalnya, memperoleh pengetahuan yang mungkin tidak diajarkan di bangku sekolah dengan cara yang lebih fun. Kontrol masyarakat juga penting dalam hal pemakaian ICT ini. Maraknya warnet di Indonesia tentu saja membuat banyak anak dan remaja—yang tidak bisa menggunakan komputer dan internet di rumah—mendapatkan akses ke internet di tempat ini. Masalah baru timbul jika pengelola warnet tidak melakukan pengawasan dan pembatasan terhadap siapa saja yang boleh mengakses internet secara bebas.
Lain Indonesia, lain pula Jepang. Jika di Indonesia yang dikhawatirkan adalah konten porno, di Jepang justru konten yang mengarah kepada kekerasan yang menjadi perhatian orang tua dan guru. Maklum saja, kasus kekerasan dan pelecehan antarsiswa menjadi hal yang serius di Jepang, bahkan pernah diperbincangkan dalam rapat kabinet. Dalam diskusi dengan pengajar anak saya di Jepang, inti masalahnya tetap sama: pengawasan orang tua, masyarakat dan guru sangat penting dalam menjauhkan anak-anak dari kandungan informasi yang belum layak dikonsumsi mereka. Itu menjadi sulit dilakukan di tengah makin mudahnya akses ke internet dan perkembangan ICT yang justru berupaya mendekatkan sumber-sumber informasi kepada para pemakainya. Barangkali ini menampilkan sebuah ironi bagi ubiquitous society atau masyarakat bertabur informasi yang menjadi tujuan pengembangan ICT masa kini.
Membesarkan anak di tengah bertaburnya informasi di sekeliling kita tentu bukan tugas yang mudah–karena tidak semua informasi itu baik dan perlu, misalnya konten pornografi atau kekerasan tadi. Berkenaan dengan bertaburnya informasi tersebut, dalam dunia ICT sendiri, berkembang apa yang disebut data mining atau penggalian data: hanya informasi yang penting dan relevan sajalah yang digunakan, yang tidak perlu dibuang atau diabaikan. Jadi, dalam kasus mendidik anak di era ubiquitous, kita setuju perlunya peran aktif orang tua sebagai data miner. Dalam ranah ini, saya sebagaimana orang tua lainnya perlu juga duduk bersama dan berbagi pengalaman dalam menghadapi masalah ini agar kejadian seperti di awal tulisan ini tidak terjadi lagi dan berkembang menjadi lebih buruk. Nah, bagaimana solusi Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar